SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK
DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2012
(PERSPEKTIF KEADILAN
RESTORATIF/RESTORATIVE JUSTICE)
ABSTRACT
The
future of the children will determine the future of the nation. The increasing
problem of juvenile delinquency in this globalization and information
technology era, requires the state to give more attention to the child's
future. Children in conflict with the law, is essential in order to think about
the protection of their rights. Application of the criminal justice system for
children in Indonesia is as stipulated in Law Number 3 of 1997 potentially
detrimental to the children interests. In practice, the judicial system had
many problems. Among them is a violation of the rights of children, such as:
physical and psychological violence children, deprivation of the right to
education and welfare. It happened because the juvenile justice system contrary
to national and international regulations on the protection of children’s
rights. Besides that, theory of punishment for the juvenile delinquency still
refers to the concept of retribution for the crimes. This concept is not very
useful for the development of the child, so the concept to be repaired with the
concept of restorative justice. With this concept, the criminal justice system for the juvenile delinquency,
leads to the restoration of the state of the settlement pattern involving the
perpetrator, the victim, and their families and engage the community. It is done with consideration of the
interests of the protection of children in conflict with the law, while social
order can still be controlled. Whereas in line with this spirit of the
restorative justice, it gives birth to the law number 11 of 2012 on the
Criminal Justice System for The Children.
Key
Words: Restorative Justice, Rights of the Child, Juvenile Delinquency.
A.
Pendahuluan
Indonesia yang berada di
peringkat empat negara berpenduduk terbesar di dunia (setelah Cina, India dan
Amerika), tentu tidak terlepas dari maraknya permasalahan demografi atau
kependudukan, diantaranya adalah masalah sosial kenakalan anak yang cukup
krusial di negeri ini. Kenakalan anak terjadi bukan sekedar perilaku menyimpang yang berasal dari faktor
internal, tetapi juga seiring dengan faktor eksternal, yaitu akibat derasnya
arus pasar bebas dan globalisasi informasi, teknologi dan komunikasi
(informatika) yang potensial melunturkan kultur sebuah bangsa. Termasuk
pergaulan anak dan remaja yang kini mulai terasing dengan budayanya sendiri, karena
tergusur dan mulai rapuh mempertahankan
identitas jati dirinya. Itu semua juga tidak lepas sebagai akibat dari dampak
negatif pembangunan yang cenderung bersifat materiil ketimbang moral dan
identitas jati diri suatu bangsa.
Anak adalah asset bangsa yang
harus tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang berpotensi, berperan dan
turut menikmati pembangunan nasional menuju tercapainya tujuan negara Republik
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh sebab itu negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan
terhadap anak yang dalam tumbuh kembangnya masih dalam taraf mencari bentuk
jati dirinya, terlebih lagi ketika mereka
berhadapan atau mengalami konflik dengan hukum, maka dalam rangka
ketertiban sosial diperlukan sistem peradilan pidana anak yang mampu memberikan
perlindungan dan rasa keadilan terhadap anak sehingga mereka masih memiliki
harapan untuk menatap masa depan mereka, tanpa harus terhambat dengan
penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami tindakan hukum berlebihan
di peradilan. Tindakan hukum yang diberlakukan terhadap mereka harus lebih
mengedepankan pembinaan dan pemulihan hak-hak mereka tanpa harus dikenai
tindakan hukum yang berlebihan. Menjadi persoalan yang rumit dari sisi
keadilan, apabila konflik hukum terjadi bukan sekedar antara anak dengan negara
atau masyarakat, akan tetapi konflik hukum itu terjadi juga dalam relasi antar
anak yang sama-sama punya hak mendapat perlindungan, maka bagaimana jalan
keadilan harus ditempuh?
Seiring dengan perkembangan
konsep keadilan restoratif (Restorative
Justice), praktek sistem peradilan pidana anak yang telah diterapkan selama
ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, kerap diwarnai dengan sejumlah kritik atas beberapa kelemahan
dan disfungsi normatif yang rawan mencederai hak anak. Oleh sebab itu sudah
selayaknya Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 tersebut
direformasi, sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) yang telah diundangkan (pada Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5332) tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku setelah 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Lahirnya UU-SPPA ini diharapkan
dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep keadilan restoratif (Restorative Justice), sehingga keadaan
anak tetap bermartabat sebagaimana hak asasinya.
Menjelang pemberlakuan sistem
peradilan pidana anak berdasarkan UU-SPPA yang baru ini, tentu ada suatu
keadaan transisional yang dipandang mendesak untuk memberikan rasa keadilan
yang restoratif, sementara UU-SPPA yang baru tersebut masih bersifat akan
diberlakukan (belum berlaku). Ini satu tantangan buat peradilan, bagaimana
penerapan sistem peradilan pidana anak di masa transisional ini bisa menjawab
dan memberikan rasa keadilan sebagaimana jiwa UU-SPPA yang baru tersebut
menghendaki demi perlindungan hak-hak dan masa depan anak.
B.
Keadilan Restoratif (Restorative
Justice)
Dalam praktek sistem peradilan di Indonesia terdapat perkembangan
mengenai konsep tujuan pemidanaan, mulai retribution
yang merupakan bentuk pembalasan secara absoluth terhadap seseorang yang telah
melakukan kejahatan, tanpa harus melihat dampak dan manfaat lebih jauh.
Kemudian ada konsep restraint yang
bertujuan menjauhkan (mengasingkan) pelaku kejahatan dari kehidupan masyarakat,
agar masyarakat aman, tenang, terhindar dari keresahan dari ulah kejahatan
serupa. Ada juga konsep deterrence
individual dan general deterrence,
yang dimaksudkan agar hukuman membuat si pelaku secara individual merasa jera (individual detterance) atau sekaligus ditujukan
supaya dijadikan sebagai contoh masyarakat agar tidak melakukan kejahatan serupa (general deterrence). Perkembangan
selanjutnya adalah konsep reformation atau
rehabilitation, suatu bentuk
penghukuman yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau merehabilitasi si pelaku
kejahatan agar pulih menjadi orang baik yang dapat diterima kembali di
lingkungan masyarakatnya.
Konsep-konsep pemidanaan
tersebut terus berkembang dalam teori-teori keadilan dari yang tradisional
seperti retributive justice, rehabilitative justice, sampai ke teori
yang lebih modern seperti alternative
justice, transitional justice dan belakangan berkembang teori restorative justice. Restorative justice oleh sebagian pakar
hukum pidana, psikolog dan pakar perilaku anak dipandang tepat dan baik dalam
sistem peradilan pidana anak guna penyelesaian permasalahan anak yang
berkonflik dengan hukum, baik itu dari sisi pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, maupun stakeholder lainnya
demi diperolehnya rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat.
Restorative justice merupakan bentuk
penyelesaian konflik yang tidak hanya mengadili dan menghukum pelaku dengan
suatu pembalasan, tetapi lebih mengedepankan pada terpulihkannya keadaan semula atau kondisi normal dari korban,
pelaku, keluarga pelaku/korban ataupun stakeholder lainnya yang berkepentingan.
Keadilan ini di satu sisi dapat menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh
pelaku tidak dapat dibenarkan secara hukum, namun di sisi lain juga melindungi
dan menghormati hak-hak individu yang lebih mendasar.
Restorative justice yang menjadi ruh
dari UU-SPPA ini merupakan upaya korektif terhadap konsep keadilan yang pernah
ada dalam sistem peradilan pidana sebelumnya dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang lebih luas yang selama
ini belum terjangkau dari rasa keadilan, guna secara bersama-sama mencari
penyelesaian yang lebih adil dan dapat diterima oleh semua pihak. Dengan kata
lain, lahirnya UU-SPPA ini menandai
diawalinya pembaruan hukum pidana anak dengan semangat Restorative Justice.
C.
UU-SPPA, Koreksi Penerapan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Kondisi anak-anak yang berada
di dalam lembaga pembinaan, penahanan dan pemasyarakatan selama ini menampakkan
wajah buruk, ketimbang sisi positif dalam perkembangan anak. Bukan saja
minimnya fasilitas yang ada dalam lembaga tersebut, tetapi kondisi psikologis
anak maupun petugas itu sendiri dengan segala keterbatasan, sulit memungkinkan
interaksi antara keduanya menjadi hubungan yang mencerahkan perkembangan anak.
Bahkan tidak jarang, kondisi psikologis antara keduanya sama-sama terpenjarakan
oleh suatu keadaan yang serba tidak mengenakkan.
Percampuran anak dengan orang
dewasa dalam lembaga pemasyarakatan menimbulkan pengaruh negatif dan beban
psikologis tersendiri bagi anak, karena menganggap dirinya sama jahatnya dengan
orang dewasa. Selain itu dampak negatifnya adalah pendidikan mereka terabaikan,
karena mengikuti jadwal kebiasaan orang dewasa yang tidak selalu sama dengan
kebutuhan dan hak-hak anak sebagaimana dijamin undang-undang.
Disamping itu di dalam praktek kerap
juga terjadi pelanggaran ketika aparat hukum memproses perkara anak, baik saat
pemeriksaan di penyidikan maupun di persidangan yang potensial menimbulkan
intimidasi secara mental maupun kekerasan pada anak. Hal itu berdampak secara
psikologis dan membuat frustasi anak dalam menatap masa depannya.
Merujuk pada
persoalan-persoalan dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum
dalam sistem sistem peradilan anak di Indonesia tersebut, maka dalam Undang-Undang
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru telah dilakukan sejumlah reformasi
mengacu pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Harmonisasi Instrumen Hukum
Nasional, Mengacu pada Standar Instrumen Internasional tentang Perlindungan
Anak.
Sejalan dengan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur masalah anak terdapat pada
berbagai regulasi, yang terkadang tidak sinkron satu dengan lainnya, maka
perbedaan-perbedaan ini membawa kerugian yang amat besar, seperti hak anak
untuk memperoleh pendidikan karena usianya yang masih dalam usia wajib belajar,
seringkali dilanggar. Demikian dengan masalah perkawinan dan kehamilan yang
terlalu dini, problem kewarganegaraan, problem ketenagakerjaan dan
problem-problem sosial lainya, sering memposisikan anak terlanggar haknya.
Terlebih ketika anak berhadapan dengan hukum, ketidaksinkronan realitas hukum
mengenai definisi anak, telah makin mempersulit keadaan si anak. Banyak
anak-anak yang dalam usia terlampau dini harus menjalani proses peradilan,
ditahan bersama-sama dengan penjahat dewasa dan bahkan sebagian besar dari
mereka kemudian dimasukkan dalam lembaga penghukuman, yang sebagian besar
bercampur dengan narapidana dewasa. Perbedaan tentang batas usia anak juga
menyebabkan munculnya kasus-kasus anak yang mendapat perlakuan dan keputusan
yang tidak tepat. Termasuk anak-anak, yang karena ia sudah menikah, maka status
anak berubah menjadi orang dewasa, sehingga jika mereka ini melakukan
pelanggaran hukum, mereka akan diperlakukan seperti layaknya penjahat dewasa.
Harmonisasi hukum perlu
dilakukan karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang mengatur tentang anak, disamping karena Indonesia merupakan bagian dari
masyarakat internasional yang terikat dengan sejumlah konvensi maupun instrument
hukum internasional lainnya yang bertujuan untuk memberikan perlindungan anak
dalam rangka meningkatkan derajat, martabat dan kesejahteraan anak. Oleh karena
itu substansi dari UU-SPPA tersebut harus harmonis dengan dengan instrument
hukum nasional maupun internasional yang
mengarus-utamakan kepentingan anak.
Dalam tataran nasional
terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti: Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Disamping itu, ada upaya ratifikasi terhadad kovenan
internasional, seperti: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internatonal Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internatonal Covenant on Civil and Political
Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), serta
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Child (Konvensi tentang Anak). Dalam
tataran internasional juga terdapat sejumlah ketentuan yang memiliki norma yang
mengatur tentang proses peradilan pidana dan pengutamaan kepentingan anak dalam
setiap tahapan sistem peradilan pidana, seperti: The United Nations Guidelines for The Prevention of Juvenile
Delinquency (The Riyadh Guidelines), The United Nations Standartt Minimum Rules
for The Administration of Juvenile Delinquency (The Beijing Rules), The United
Rules for Guidelines The Protection of Juvenile Deprived of Liberty. Itu
beberapa ketentuan yang mesti dipertimbangkan dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak yang baru, sehingga sistem peradilan anak ini menjadi “eksklusif” lebih
empati pada kepentingan dan perlindungan hak-hak anak.
2.
Batas Usia Penahanan Anak dan Pertanggungjawaban Pidana Anak
yang Dapat Diajukan ke Sidang Anak
Mengenai batas usia minimal
dan maksimal anak dalam pertanggungjawaban pidana memang berbeda-beda di antara
banyak Negara. Hal ini tergantung pada bagaimana suatu negara mendefinisikan
tentang juvenile dan bagaimana mendefinisikan delinquency.
Dengan adanya perbedaan batas usia minimal dan maksimal pertanggungjawaban
pidana tersebut, maka cara yang dipergunakan
untuk menangani juvenile delinquency menjadi
berbeda-beda di setiap negara. Ada negara yang tidak memiliki pengadilan khusus
anak. Anak-anak yang melakukan delinquency dibawa ke Children’s
Hearing Sistem yang tidak memiliki sanksi untuk menghukum mereka.
Ada negara yang secara selektif atau tidak semua masalah delinquency
dibawa ke Pengadilan. Perbedaan batas usia minimal dan maksimal
pertanggungjawaban pidana tidak hanya berdampak terhadap perbedaan penanganan
dari sistem peradilan pidana anak, tetapi juga berhubungan dengan
organisasi-organisasi dan institusi-institusi seperti pekerja sosial dan
pelayanan anak. Tidak hanya itu saja, perbedaan batas usia minimal dan maksimal
pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat, pengharapan
terhadap anak, keluarga dan peranan Negara. Sehubungan dengan kaitan antara
batas usia anak dengan nilai-nilai budaya setempat memang diakui oleh Konvensi
Hak Anak. Namun demikian kita dapat mengacu pada rekomendasi dari The
Beijing Rules dan Konvensi Hak Anak (pasal 40 ayat 3) tentang pentingnya
menaikkan batas usia minimal pertanggungjawaban pidana, karena semakin tinggi
batas usia minimal pertanggungjawaban pidana, maka akan semakin sensitif aturan
tersebut melindungi hak-hak anak. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah batas
usia minimal pertanggungjawaban anak, maka semakin terabaikan hak-hak anak.
Berkaca pada kasus-kasus yang
terlihat bahwa usia 8 tahun masihlah terlalu dini bagi anak untuk bertanggung
jawab atas perbuatannya. Pada usia tersebut, anak-anak masih belum dapat
memahami apa yang diperbuat, belum dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Pelanggaran hukum yang dilakukannya adalah reaksi dari kondisi
sosial dan individualnya, termasuk sebagai ekspresi dari problem transisi
psikologi yang dialaminya, ataupun lebih sebagai kesalahan adaptasi anak
terhadap situasi-siatuasi sulit atau tidak menyenangkan yang dihadapinya.
Banyak yang meyakini, kenakalan ini akan hilang begitu si anak menginjak dewasa
dan bila faktor-faktor eksternal yang dihadapinya tersebut dihilangkan.
Terlebih amat dipercayai bahwa sebaik apapun satu sistem peradilan berjalan,
tetap saja memungkinkan terjadinya kerugian bagi anak-anak, karena kerentanan
dirinya, yang dikarenakan usianya. Karena keterbatasan psikis dan fisiknya,
mereka juga sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks Indonesia tidak
dapat dipungkiri bahwa agen sosialisasi yang berperan dalam menyampaikan
nilai-nilai positif pada anak-anak belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Keterbatasan pendidikan orang tua, faktor ekonomi, latar belakang sosial
berperan secara signifikan dalam keterlibatan anak pada perilaku delinquency. Dalam
kondisi kesejahteraan anak yang sangat minim batas usia 8 tahun bagi anak untuk
bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan adalah tuntutan yang
berlebihan. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa keterlibatan anak dalam
sistem peradilan akan membawa dampak buruk bagi anak-anak. Oleh karena itu UU
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak idealnya harus lebih mengutamakan
kepentingan anak, dengan dilakukannya amandemen mengenai batas usia minimum
yang lebih matang dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga konsekuensinya,
bila ada anak-anak yang berada di bawah usia itu diduga melanggar hukum, maka
mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum, maka
mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang
hukum pidana, sehingga tidak dapat dibawa ke proses peradilan.
Berdasarkan kondisi-kondisi
tersebut maka batas usia penahanan dan pertanggungjawaban pidana telah
dilakukan perbaikan yang bersifat pematangan dalam UU-SPPA, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 20, 21 ayat (1) dan 32 ayat (2) UU-SPPA:
Pasal 20
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak
sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan
belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap
diajukan ke sidang anak.
Pasal 21
(1) Dalam hal anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan
untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang
tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di
instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat
maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 32
(1) Penahanan terhadap anak tidak boleh
dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau
lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau
merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan terhadap anak hanya dapat
dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas)
tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
3.
Korban dan Pelaku sama-sama Anak.
Tidak jarang ditemukan perkara
yang diajukan di muka pengadilan, dimana sebagai pelaku kejahatan adalah anak,
dan demikian pula yang menjadi korban adalah anak. Anak yang dijadikan Terdakwa
dikenai dakwaan berdasarkan ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang ancaman hukumannya sangat berat dalam rangka
melindungi anak sebagai korban. Akan tetapi, di sisi lain peradilan bagi si
Pelaku yang juga anak diberlakukan
ketentuan tentang Pengadilan Anak dengan prinsip-prinsip yang melindungi
hak-hak anak sekalipun mereka sebagai pelaku. Pelaku kejahatan yang merupakan
anak di sini harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa. Bukan saja
mengenai lamanya Pidana penjara yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku anak, paling lama 1/2 (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, tetapi lebih dari itu mereka harus diproses dengan cepat dan hukuman yang singkat, jangan
sampai anak berurusan terlalu lama dengan hukum karena dapat berakibat pada
kepribadian anak semakin tidak baik. Anak sangat tidak baik berada dalam
lembaga pemasyarakatan berteman dengan narapidana dari berbagai macam
kejahatan. Inilah yang harus diselamatkan jangan sampai menempakan mereka dalam
penahanan atau lembaga pemasyarakatan justru akan memposisikan mereka potensial
menjadi korban kejahatan dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan tersebut.
Dalam konteks yang demikian,
antara korban dan pelaku yang sama-sama anak, sama-sama memiliki hak-hak anak
yang harus dilindungi. Ini sangat dilematis dan menjadi tugas berat hakim anak
untuk mencarikan formulasi keadilan yang tepat, dengan tidak serta
memberlakukan secara sepihak dari satu sisi undang-undang saja (karena
hakikatnya mereka antara pelaku dan korban sama-sama anak memiliki hak untuk
dilindungi oleh negara). Sebagian berpendapat bahwa putusan Pengadilan Anak menjatuhkan vonis bersalah
pada si pelaku anak dengan hukuman pidana di bawah ancaman minimum Undang-Undang
Perlindungan Anak, mengingat menurut undang-undang itu pula dinyatakan bahwa
pemidanaan hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir jika upaya lain tidak
lagi dirasakan efektif memberikan rasa keadilan.
Dalam hal ini ada yang
berpendapat bahwa hukuman minimum dan maksimum dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak yang menjadi korban dari
perbuatan pidana si pelaku yang merupakan orang dewasa. Ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 Undang-Undang Perlindungan Anak
ditujukan kepada orang dewasa sebagai pelaku kejahatannya, dan bukan
diberlakukan terhadap anak sebagai pelakunya.
Namun di lain pihak ada yang
tidak sependapat dengan menyatakan bahwa ketentuan pada Undang-Undang
Perlindungan Anak tersebut tidak hanya ditekankan pada orang dewasa saja, akan
tetapi juga ditekankan pada pelaku anak. Dalam hal ini hakim seyogyanya juga
harus memperhatikan akibat-akibat psikis dan psikologis yang diderita oleh
korban anak maupun keluarganya, sehingga putusan yang dijatuhkan harus memuaskan
rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Melihat kenyataan demikian,
seharusnya hukum pidana memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan
sehingga supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam
masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi
pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi lagi perbuatannya di masa yang
akan datang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan tersebut
karena ancaman sanksi yang cukup berat. Tidak boleh ada keraguan menjatuhkan
hukuman karena dengan hal itu dapat dijadikan upaya perbaikan dan pencegahan
akan semakin maraknya tindak kejahatan.
Demikian dilematisnya dalam hal
pelaku dan korbannya sama-sama anak, maka hakim diharuskan memperhatikan asas-asas,
sistem, dan kaidah hukum yang berlaku pada sistem peradilan anak dan juga
ketentuan perlindungan anak. Keadaan yang dilematis demikian, memunculkan
gagasan mediasi penal yakni suatu model penyelesaian perkara dengan musyawarah
yang melibatkan pelaku dan korban beserta kedua belah keluarganya dan
perwakilan masyarakat dalam rangka mencari solusi dengan mengedepankan penerapan
keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan keadaan baik dari sisi korban,
pelaku maupun masyarakat. Itulah yang kemudian berkembang menjadi konsep penyelesaian
perkara pidana anak di luar peradilan (non litigasi) yang disebut dengan diversi.
- Diversi
Dalam sistem peradilan pidana
anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, selama ini penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi
pengaturannya belum memadai, hanya diatur pada tahap penyidikan saja. Sejak
diterbitkannya UU-SPPA yang baru ini, maka pada semua tingkatan proses
peradilan pidana anak, terbuka bagi peluang aparat penegak hukum untuk
melakukan diversi, termasuk oleh hakim anak di pengadilan negeri. Diversi ini
dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan
psikologis anak atas diberlakukannya sistem peradilan pidana dengan segala konsekuensinya
penjatuhan pidananya. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana
anak dari proses peradilan dibawa ke arah penyelesaian melalui musyawarah
melibatkan korban, pelaku, keluarganya dan masyarakat di luar proses peradilan.
Diversi adalah bagian penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan
keadilan restoratif. Hal ini sangat penting, agar hak-hak anak baik korban
maupun pelaku terlindungi demi masa depan mereka, sekaligus memulihkan kembali
keadaan tertib sosial di masyarakat.
Diversi, adalah salah satu
mekanisme yang dimaksudkan untuk mengkongkritkan pendekatan keadilan yang
restoratif. Di Pengadilan Negeri, hakim anak wajib melakukan diversi sebelum
melakukan pemeriksaan terhadap perkara tindak pidana anak, karena diversi adalah
perintah dari UU-SPPA. Dalam proses diversi, hakim anak diberi kesempatan
selama 7 (tujuh) hari, wajib melibatkan pihak-pihak terkait dalam suatu
musyawarah sesuai syarat dan ketentua UU-SPPA di pengadilan negeri secara
tertutup untuk umum di ruang khusus, dengan memperhatikan asas-asas
penyelesaian perkara pidana anak. Diversi ini diselenggarakan seperti halnya
proses mediasi dalam perkara perdata. Apabila belum ada ruang khusus,
selayaknya menggunakan ruangan mediasi yang sudah ada di setiap Pengadilan Negeri. Artinya dibutuhkan suatu ruangan dan
perlakuan “eksklusif” menghormati hak-hak anak (Pasal 3 UU-SPPA). Jika diversi
gagal, perkara akan dilanjutkan ke tahap persidangan. Akan tetapi, jika diversi
berhasil, maka hasil kesepakatan diversi diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk ditetapkan dalam penetapan pengadilan.
Ketentuan diversi sebagaimana
diatur dalam UU-SPPA tersebut baru bersifat pokok, sehingga detailnya perlu
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Agung, misalnya untuk menentukan
berapa kali harus diselenggarakan diversi tersebut, bagaimana kalau di antara
para pihak ada salah satu yang tidak
hadir, dan seterusnya penting untuk memberikan panduan bagaimana diversi
idealnya dilakukan. Disamping itu, diperlukan hakim khusus yang memiliki
keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk memfasilitasi diversi, sehingga
dalam hal ini diperlukan satu pelatihan
khusus untuk pembekalan pengetahuan teknis dan strategis bagi para hakim anak
agar memiliki kemampuan menjalankan mekanisme diversi secara optimal sesuai
dengan pendekatan keadilan restoratif.
Tidak kalah pentingnya mengenai
diversi ini adalah berkaitan dengan kesadaran masyarakat, sampai seberapa jauh
memiliki pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi sehingga ketika proses
diversi dilakukan ada kesamaan pandangan, bukan berorientasi untuk melakukan
pembalasan, tetapi bagaimana menemukan keadilan yang bisa disepakati dengan
tetap memperhatikan kepentingan anak untuk bisa menatap masa depannya tanpa
terbebani dengan masalah hukum yang pernah dialaminya.
D.
Kriminalisasi Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Bentuk
Intervensi Kemandirian Hakim.
Seiring akan diberlakukannya
UU-SPPA yang baru ini, terdapat ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101
yang mana pasal-pasal tersebut dimaksudkan untuk memberikan sanksi kepada
aparat peradilan yang tidak menjalankan kewajibannya menyelenggarakan diversi
serta kelalaiannya dalam hal penahanan dengan batas waktu menjatuhkan putusan,
serta kelalaian pengadilan memberikan salinan putusan. Meskipun ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk mendorong agar diversi itu dilakukan secara optimal,
namun ketentuan tersebut sangat berlebihan dan bersifat mencederai independensi
hakim. Namun dalam perjalanannya para hakim yang
menangani perkara anak boleh bernafas lega. Mereka tak perlu lagi khawatir
dijerat sanksi pidana jika tak berupaya mendamaikan perkara dimana anak menjadi
pelakunya. Mereka juga tak perlu takut diberi sanksi pidana jika tak segera
mengeluarkan anak jika masa tahanannya habis. Atau tak perlu takut juga
dijatuhi sanksi pidana bila tak segera memberikan petikan dan salinan putusan
perkara anak. Hal ini dipastikan setelah MK membatalkan tiga pasal dalam UU-SPPA yang mengatur sanksi pidana
bagi hakim jika melakukan tiga pelanggaran seperti disebut di atas. Yaitu Pasal
96, Pasal 100 dan Pasal 101 UU SPPA. “Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101
UU-SPPA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan uji
materiil undang-undang ini diajukan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang menilai
ketiga pasal itu potensial melanggar prinsip independensi hakim dalam
menjalankan tugas teknis yudisialnya di sistem peradilan pidana anak. Menurut
IKAHI, ketentuan itu merupakan hukum acara untuk menegakkan hukum materil
pidana anak yang seharusnya tidak bisa dipidanakan.
Kalaupun ada pelanggaran
terhadap hukum acara, IKAHI berpendapat konsekuensi yang mesti ditanggung hakim
adalah sanksi administratif. Sebab termasuk ranah pelanggaran kode etik dan
perilaku hakim yang merupakan kewenangan MA dan KY. Dalam permohonannya, IKAHI
minta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memperoleh jaminan
konstitusional berupa asas independensi hakim berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD
1945 dalam penyelenggaraan peradilan yang merdeka. Kemerdekaan ini mewajibkan
hakim melaksanakan fungsinya agar tidak terpengaruh oleh siapapun. Kekuasaan
kehakiman melarang setiap kekuasaan extra yudisial mempengaruhi atau
lebih-lebih lagi turut campur kepada hakim sebagai pelaksana pelaksana
kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa, Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 UU SPPA yang menentukan
ancaman pidana, bukan saja tidak merumuskan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Tetapi juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif.
Ini tentunya memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang
menyelenggarakan UU-SPPA.
Menurut pandangan Mahkamah
Konstitusi ketentuan pasal itu merupakan dampak negatif psikologis yang tidak
perlu yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran saat mengadili suatu perkara. Hal
ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berarti
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontraproduktif dengan
maksud penyelenggaraan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam
rangka keadilan restoratif.
E.
Sistem Peradilan Pidana Anak, Di Masa Transisi
Dengan terbitnya UU-SPPA
yang baru ini, maka saat ini telah ada 2 (dua) undang-undang yang mengatur
tentang peradilan anak. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang masih berlaku, dan yang kedua adalah UU-SPPA yang baru
yang meskipun sudah disahkan, sudah diundangkan namun pemberlakukan dinyatakan
baru efektif setelah dua tahun sejak diundangkan tanggal 30 Juli 2012 (yang
berarti baru efektif berlaku mulai tanggal 30 Juli 2014). Seiring dengan
tuntutan hukum progresif, maka dari perspektif keadilan restoratif sebenarnya
sistem peradilan pidana anak yang dikehendaki adalah UU-SPPA yang baru. Lalu
bagaimana penerapannya?
Perlu dipahami bahwa
ketentuan UU-SPPA yang akan diberlakukan dua tahun sejak diundangkan adalah
dalam rangka untuk melengkapi struktur yang dikehendaki oleh UU yang baru
tersebut baik berupa kelengkapan regulasi operasionalnya maupun
sarana/prasarana yang harus difasilitasi untuk menunjang operasionalisasi
sistem peradilan pidana anak yang baru tersebut secara baik. Artinya, jika
keadilan restoratif vide UU-SPPA yang
baru tersebut dapat dicapai dengan instrument hukum dan fasilitas yang ada,
maka dari sisi keadilan itu lebih bermanfaat diterapkan tanpa
harus menunggu waktu efektif berlakukanya undang-undang tersebut. Dengan
demikian, ruh keadilan yang terdapat dalam UU-SPPA dapat diadobsi dalam proses
penyelesaian perkara anak pada sistem peradilan pidana anak di Indonesia.
F.
Kesimpulan
- Peradilan Anak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan dalam prakteknya
banyak diwarnai dengan disfungsi norma serta penyimpangan yang
bertentangan prinsip-prinsip perlindungan hak anak, sehingga sangat
berpotensi mencederai masa depan anak sebagai asset bangsa.
- Sebagai bagian dari masyarakat internasional,
bangsa Indonesia merasa perlu dan bersifat mendesak terhadap kebutuhan
reformasi di bidang sistem peradilan pidana anak yang bersifat “eksklusif”
dengan mengacu pada kepentingan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam
berbagai instrument hukum nasional maupun internasional.
- Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana
ditur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah bagian dari reformasi
atau pembaruan hukum dan peradilan anak yang beranjak dari respon hukum
progresif, dan konsep Restorative
Justice.
- Dalam masa transisi ini, agar segera
diwujudkan struktur dan instrument hukum pelaksanaan dari UU-SPPA, baik
bersifat regulasi, sarana dan prasarana, termasuk aparat struktural yang
merupakan bagian dari stakeholder
dari instrumen penanganan masalah
anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk kemampuan dan keahlian
dari aparat structural meliputi polisi, advokat, jaksa, hakim, Petugas
Pembimbing Kemasyarakatan, Lapas, Bapas, Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, yang harus dibekali dengan pelatihan
berkaitan dengan pengananan perkara atau permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum,
sehingga sistem tersebut berjalan secara optimal.
- Secara kultural langkah
progresif sistem peradilan pidana anak ini harus didukung dengan
tanggungjawab masyarakat umumnya, dan orang tua khususnya agar memberi
pengawasan dan perhatian terhadap kepentingan masa depan anak, terlebih
lagi secara preventif melakukan pengawasan terhadap anak guna pencegahan
kejahatan dengan cara memberikan perhatian
dan pendidikan yang tepat kepada anak, agar anak tidak terjerumus
pada kenakalan anak (juvenile delinquency), dan terhindar dari permasalahan hukum.
- Penerapan sistem peradilan
pidana anak di masa transisi sebelum berlakunya UU-SPPA ini hendaknya
mengacu pada semangat keadilan restoratif (Restorative Justice) sebagai bagian implementasi dari ajaran
hukum progresif, dengan mengedepankan kepentingan anak yang merupakan asset
bangsa yang dilindungi masa depannya, melalui optimalisasi konsep diversi,
sehingga anak mendapat kesempatan untuk merenung dan memperoleh jati diri
untuk menjadi manusia yang lebih baik dengan menyadari perbuatannya
sehingga nantinya diharapkan menjadi anak yang lebih bertanggungjawab.
DAFTAR
BACAAN
Peraturan
Perundang-Undangan:
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of
Child (Konvensi tentang Anak).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor tentang, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internatonal
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Konvensi Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Internatonal Covenant on Civil
and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Artikel:
Amriani, Nurnaningsih, Penanganan Perkara Anak melalui Konsep
Diversi dan Restorative Justice, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVII
No. 323 Oktober 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2012.
Bahauddin, A. Agus, Ancaman Kriminalisasi Independensi Hakim,
Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVII No. 327 Februari 2013, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2013.
Ichwan Ichlas Ria Adha, Noor, Reformasi Pemidanaan, Majalah
Hukum Varia Peradilan No. 290 Januari 2010,
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2010.
M. Gultom, Binsar, Kriminalisasi terhadap Profesi Hakim
Runtuhnya Wibawa Kekuasaan Kehakiman, Majalah Hukum Varia Peradilan
Tahun XXVII No. 327 Februari 2013, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta,
2013.
M. Sidabalok, Hosianna, Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban
Tindak Pidana Pemerkosaan yang Dilakukan oleh Anak, Majalah Hukum Varia
Peradilan Tahun XXVII No. 325 Desember 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Jakarta, 2012.
Supramono, Gatot, Anak
sebagai Pelaku Kejahatan dalam Hubungannya dengan UU Perlindungan Anak,
Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVII No. 313 Desember 2011, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2011.
Sutatik, Sri, Konkretisasi Pendekatan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) melalui Diversi oleh Hakim Anak Di Pengadilan Negeri,
Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXVII No. 323 Oktober 2012, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2012.
-----------------------, Politik Hukum Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Majalah Hukum Varia
Peradilan Tahun XXVII No. 328 Oktober 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Jakarta, 2012.
Widya Pramono, Hari, Upaya Perlindungan Terdakwa Anak dalam
Proses Persidangan Di Pengadilan, Majalah Hukum Varia Peradilan XXVII
Tahun No. 319 Juni 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2012.
* Penulis adalah berprofesi sebagai Advokat dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang kini menjabat sebagai
Hakim Ad Hoc Tipikor tingkat Banding di Pengadilan Tinggi (Tindak Pidana
Korupsi) Gorontalo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar